Rabu, 01 April 2009

MATEMATIKA BUKAN PELAJARAN YANG MENYERAMKAN



Matematika sering kali dianggap pelajaran momok. Tak cuma si anak yang
kebingungan, orang tua pun sering dibuat kalang kabut.
Segala daya dikerahkan para orang tua bagi anaknya. Mulai dari les sampai
ikut bimbingan belajar. Tapi beberapa waktu terakhir ada lembaga yang khusus
menyelenggarakan kursus matematika. Ada yang menggunakan Metode Kumon,
sementara lainnya menggunakan alat bantu sempoa.
Kembangkan potensi individu
Sebenarnya nama Kumon adalah nama keluarga penemu metode belajar
matematika, Toru Kumon. Guru matematika SMU di Jepang itu pada tahun 1954
pertama kali menyusun sendiri bahan pelajaran matematika untuk membimbing
anaknya belajar matematika. Setelah terbukti memberi hasil memuaskan pada
anaknya dan juga anak didik dan tetangga dekatnya, ia pun ingin menerapkan cara
belajar dan bahan pelajaran ini kepada sebanyak mungkin anak. Tak heran dengan
sifatnya yang universal, kini Metode Kumon telah dapat diterapkan di 40 negara,
termasuk Indonesia.
Prinsip dasar metode yang disebarluaskan ke Indonesia pada Oktober 1993
ini adalah pengakuan tentang potensi dan kemampuan individual tiap siswa. "Maka,
seseorang yang mendaftar kursus Kumon harus mengikuti tes penempatan," tutur
Suita Sary Halim, pimpinan penyelenggara kursus Kumon. Tes penempatan itu
untuk mengetahui titik pangkal siswa, supaya siswa dapat mengerjakan bahan
pelajaran sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila soal itu biasanya bisa
selesai dalam batas waktu tertentu, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Setelah itu, ia akan terus berlatih mengerjakan soal-soal latihan sesuai
kemampuan, daya konsentrasi dan ketangkasan, bukan berdasar tingkat kelas
formal atau usia siswa saja. Siswa SD kelas II bisa saja menghadapi soal latihan
untuk SD kelas I, "Karena mungkin yang ia kuasai benar baru pelajaran di kelas I,"
ujar Suita.
Sebagai contoh, mungkin saja ada siswa SD kelas II yang harus belajar
penambahan yang termudah. Misalnya, 1 + 1 = 2, 2 + 1 = 3, 3 + 1 = 4, 4 + 1 = 5, 5
+ 1 = 6, dst. Namun begitu jangan dianggap enteng karena ia harus menyelesaikan
sebanyak 50 soal hitungan serupa hanya dalam waktu 2 menit. Latihan itu
dilakukan berulang kali, sampai ia menguasai dan mampu di luar kepala menjawab
soal serupa. Selanjutnya, ia akan meningkat ke bagian berikut, namun dengan
tingkat perbedaan kesulitan yang sangat kecil, misalnya 1 + 2 = 3, 2 + 2 = 4, dan
seterusnya.
Maka jangan kaget bila dalam kelas bisa ditemukan siswa dalam berbagai
tingkat usia. Begitu pun, beberapa siswa yang duduk di tingkat kelas yang sama
tidak berarti akan memulai mengerjakan soal latihan yang sama pula. "Kembali lagi
karena masalah potensi dan kemampuan yang berbeda dari tiap siswa. Maka yang
diterapkan adalah belajar perseorangan," tutur Suita sambil menambahkan tiap
siswa Kumon mendapat bahan pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya, baik
jumlah lembar kerja maupun tingkat bahan pelajarannya.
Karena mulai belajar dari bagian yang tepat, dalam arti sesuai dengan
kemampuannya, dan program dibuat secara perseorangan, siswa tidak akan
menemui kesulitan belajar. Yang muncul justru perasaan senang belajar
matematika. Penyebab yang lain karena di lembaga ini tidak tertutup kemungkinan
untuk merevisi dan mengembangkan bahan pelajaran agar anak-anak tidak
mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak kehilangan semangat belajarnya.
Selain itu prestasi antara satu siswa dengan yang lain tidak dibanding-bandingkan,
sehingga kalaupun ada yang agak lambat mencapai kemajuan tidak akan merasa
kecil hati dan putus asa.
Uniknya, berkat metode yang mengunggulkan kemampuan dan semangat
belajar perseorangan itu, biasanya setelah 6 bulan - 1 tahun, siswa sudah bisa
mencapai tingkat pelajaran di sekolahnya, setelah itu melampauinya.
Kemajuan dari hasil belajar siswa Kumon memang sangat bervariasi. Ada siswa
yang menyelesaikan seluruh bahan pelajaran Metode Kumon, hingga level Q
mengenai probabilitas dan statistika, dalam waktu 2 tahun 10 bulan. "Namun,
sekecil apa pun kemajuannya, kami akan selalu mengakui setiap hasil yang telah
mereka capai dan menunjukkan jalan agar pada diri setiap anak timbul rasa
percaya diri dan keberanian," ujar Suita sambil menambahkan pada umumnya
prestasi siswa sesudah mengikuti kursus metode ini meningkat, terutama dari segi
akademis.
Disiplin berlatih
Kumon menilai kunci keberhasilan belajar matematika adalah dengan
banyak berlatih. Tak heran bila selama belajar dengan Metode Kumon siswa akan
mendapat banyak porsi latihan. Dalam tiap satuan lembar kerja terdapat puluhan
soal, sehingga untuk satu materi bahasan ia akan mengerjakan hingga ratusan soal
latihan. Maka, untuk menyelesaikan seluruh topik bahasan, bila ia jadi siswa sejak
tingkat pertama, jumlah soal latihan yang dikerjakannya tentu mencapai puluhan
ribu!
Di Kumon, menurut Suita, siswa yang sudah punya kemampuan cukup yang
bisa maju ke tingkat lebih tinggi. Bagi yang belum cukup akan terus mendapat
pengulangan, sehingga nantinya ia tidak mendapat kesulitan saat mengerjakan
bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Selain itu Kumon memberlakukan sistem nilai 100, artinya tiap latihan harus
benar dikerjakan semua sebelum bisa berganti lembar pelajaran. Siswa yang
melakukan kesalahan harus memperbaiki sendiri sampai mendapat nilai 100. Cara
ini dinilai efektif agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kenaikan tingkat sering kali tidak terasa. Ini karena perubahan
bahan pelajaran dibuat sedemikian kecil, bahkan halus dan sistematis. Bahan
pelajaran meningkat seiring dengan kemampuan penalaran sendiri, jarang sekali ia
harus minta bantuan pembimbing. Cara ini akan membentuk kebiasaan belajar
mandiri yang berguna untuk menggali potensi diri-sendiri.
Selain materi pelajaran, waktu belajar siswa pun digodok matang. Siswa
umumnya datang ke kelas 2 kali seminggu dengan waktu belajar rata-rata 30 menit,
tergantung tingkat bahan pelajarannya. "Namun, di luar hari kelas, mereka
mendapat PR dengan jumlah yang tepat sesuai kemampuannya setiap hari," ujar
Dani Wulansari, staf lembaga Metode Kumon.
Semua cara belajar itu diterapkan pada seluruh peserta kursus tanpa
memandang usia, karena Kumon memang bisa diikuti oleh siswa pada usia berapa
pun. "Pendaftarannya pun terbuka setiap saat," ujar Dani sambil menambahkan
sebaiknya siswa mempelajari metode ini sejak usia dini, karena hasilnya tentu akan
lebih memuaskan. Yang terutama dirasakan adalah kemampuan berpikir matematis
akibat latihan mengkoordinasikan angka-angka menggunakan otak dan tangan.
Khususnya latihan hitungan dengan Metode Kumon akan terasa sangat membantu
untuk mengenal matematika tingkat SMP dan SMA, sehingga ia akan dengan
mudah mengerjakan soal-soal persamaan, pemfaktoran, juga diferensial dan
integral.
Dengan demikian, Metode Kumon bukan hanya meningkatkan penguasaan
matematika, tapi juga berbagai kemampuan belajar pada anak, mulai dari
konsentrasi dan ketangkasan kerja, semangat kebiasaan belajar mandiri, kebiasaan
belajar setiap hari. Bila ia bisa menyelesaikan soal latihan matematika dari sekolah
dengan cepat, maka ia bisa menggunakan sisa waktu untuk mempelajari ilmu lain.
Alhasil, pelajaran lain pun pasti akan meningkat.
Dari pasir sampai manik-manik
Konon dengan sempoa seorang anak dapat menjawab sederetan soal
hitungan penjumlahan dan pengurangan hanya dalam beberapa menit. Yang
dilakukannya cuma menjentak-jentikkan biji manik-manik sempoanya dengan
cekatan.
Sempoa memang bukan barang baru. Diduga alat hitung ala abakus pertama
dimiliki suku Babilonia dalam bentuk sebilah papan yang ditaburi pasir. Di atasnya
orang bisa menorehkan berbagai bentuk huruf atau simbol. Tak heran bila ia
disebut abakus yang dalam bahasa Yunaninya abakos, artinya 'menghapus debu'.
Ketika berubah fungsi menjadi alat hitung, bentuknya pun diubah. Permukaan pasir
itu menjadi papan yang ditandai garis-garis lengkap dengan sejumlah manik-manik
satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya.
Alat itu makin disempurnakan di zaman Romawi. Papannya dibuat berlekaklekuk
cekung agar saat menghitung manik-manik mudah digerakkan dari atas ke
bawah.
Orang Cina mengembangkan "hsuan-pan" (nampan penghitung) alias
abakus itu menjadi dua bagian. Pada jeruji atas dimasukkan dua manik-manik dan
jeruji bawah lima manik-manik. Di abad pertengahan abakus makin tersebar luas, di
antaranya sampai ke Eropa, Arab, dan seluruh Asia.
Abakus sampai di Jepang pada abad ke-16. Namun Jepang mengubah
susunan manik-manik menjadi satu pada jeruji atas dan empat di jeruji bawah. Satu
manik-manik jeruji atas bernilai lima dan empat di jeruji bawah (dimulai dari tengah
ke kiri) bernilai satuan, selanjutnya puluhan, ratusan, dan seterusnya. Sedangkan di
bagian tengah ke kanan untuk menghitung bilangan desimal. Rupanya abakus ala
Jepang ini yang belakangan populer kembali, termasuk di Indonesia.
Menanam sempoa di otak
Munculnya mesin hitung elektronika di AS tahun 1946, rupanya tidak
menggoyahkan kepopuleran sempoa. Malah anak yang sudah sangat fasih
menghitung dengan metode sempoa telah dibuktikan mampu mengalahkan cara
hitung dengan komputer.
Belakangan berbagai kursus mental aritmatika sempoa memang menjamur
di kota-kota besar. Menurut salah satu penyelenggara kursus, yaitu Yayasan
Aritmatika Indonesia (YAI) yang mengambil lisensi dari Malaysia, berhitung metode
sempoa hanya melibatkan hitungan tambah, kurang, kali, dan bagi.
Satu paket belajar terdiri atas 10 tingkat yang kenaikannya harus melalui
ujian. Pada tingkat I - III anak belajar penjumlahan dan pengurangan. Pada tingkat
IV diajarkan perkalian dan pembagian. Bila satu tingkat selesai dalam tiga bulan,
berarti untuk menamatkan 10 tingkat perlu waktu 30 bulan atau 2,5 tahun.
Umumnya bila sudah sampai tingkat terampil, mungkin setelah belajar 6 bulan - 1
tahun, sekitar tingkat II atau III, murid diharapkan mampu menghitung tanpa alat
bantu apa pun. Sepuluh baris pertanyaan perkalian tiga digit angka dengan tiga
digit angka bisa selesai kurang dari 30 detik!
Hal ini bisa terjadi karena anak sudah hapal lokasi satuan, puluhan, ratusan,
dst. Cukup dengan membayangkan posisi manik-manik sempoa sambil memainkan
jari-jari tangannya, ia bisa menemukan hasil hitungan. Pada tingkat ini ia sudah
mampu menghitung cepat di luar kepala. Visualisasi penggunaan sempoa sudah
tertanam dalam otaknya.
Namun, ada catatan penting lain, menurut sistem YAI, pelatihan aritmatika
sempoa paling sesuai untuk anak usia 6 - 12 tahun karena mereka sedang dalam
taraf mempelajari metode dasar eksakta.
"Pikiran mereka masih jernih, belum terlalu dipengaruhi metode aritmatika
lain," tutur Ibu Tia, praktisi sistem YAI di Sanggar Kreativitas Bobo, Jakarta.
Akhirnya, selain bisa berhitung cepat, metode ini berguna untuk
mengoptimalkan fungsi-fungsi otak, khususnya otak kanan yang meliputi daya
analisis, ingatan, logika, imajinasi, reaksi tinggi, dll. Menurut teori mental aritmatika,
pemahaman atas disiplin dasar eksakta ini akan membuat anak mampu menguasai
dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas dirinya, termasuk
menyerap ilmu-ilmu lanjutannya nanti. Untuk kehidupan sehari-hari latihan ini akan
melatih mental anak agar menjadi lebih tekun serta disiplin.
Ilmu kemampuan dasar
Kemampuan menghitung dengan cepat, tentu akan menunjang anak dalam
pelajaran matematika di sekolah. Atas pertimbangan itu Kepala Sekolah SD
Dharma Karya Drs. H. Masduki memasukkan metode ini dalam mata pelajaran di
sekolah yang dipimpinnya. "Karena saya pernah melihat ada anak SMP yang
menghitung masih dengan alat bantu jari-jari tangan."
Selain itu, ia membaca di surat kabar rencana akan makin banyaknya
diterapkan ilmu kemampuan dasar di tingkat pendidikan dasar. Menurut dia, "Salah
satu ilmu kemampuan dasar adalah aritmatika yang meliputi penguasaan berhitung
tambah, kurang, kali, bagi." Bila landasan berhitungnya cukup kuat, siswa tentu tak
akan menghadapi masalah dalam memahami matematika yang sesuai dengan
tuntutan kurikulum dan GBPP.
SD Dharma Karya mengajarkan metode sempoa aritmatika sejak tahun
ajaran baru silam dengan mengambil dua jam dari 10 jam pelajaran matematika.
Metode ini diperkenalkan pada siswa kelas I hingga VI. "Repotnya, kalau diajarkan
pada siswa di kelas V atau VI, mental berhitung mereka sudah terbentuk yaitu
menghitung dengan alat bantu jari tangan, sedangkan jumlah jari tangan sangat
terbatas. Tak heran, kalau sering kali matematika sulit dikuasai karena tidak ada
bekal ilmu berhitung," aku Wito, guru mata pelajaran metode sempoa.
Nantinya, murid kelas I sekarang saat duduk di kelas V akan mendapat
pelajaran aritmatika sosial. "Siswa belajar menerapkannya dalam masalah seharihari,
misalnya saat berbelanja," tutur Wito yang mengaku sempat bekerja keras
merakit sempoa sederhana untuk dipakai berlatih murid-muridnya.
Ternyata Wito punya target yang sama dengan YAI, yaitu memasukkan
sempoa bayangan ke otak anak. Tugas pertamanya adalah bagaimana agar
muridnya lancar mengoperasikan sempoa. Di otak setiap gerakan bisa punya
makna dalam hitungan. Sehingga kalau pun tanpa sempoa siswa tak akan kesulitan
dalam berhitung.
Menurut Wito, murid-muridnya tak pernah bosan belajar dengan sempoa.
Murid-muridnya tak merasa sedang belajar, malah lebih merasa sedang bermain
manik-manik sempoa.
Masduki tak mengingkari masalah yang mungkin muncul. Berbeda dengan
kursus, di mana satu anak punya sempoa sendiri yang bisa dipakai berlatih di
rumah, sempoa di sekolahnya hanya dipinjamkan pada siswa saat pelajaran. Belum
lagi jumlah siswa satu kelas yang mencapai 35 orang, sehingga mungkin saja ada
anak yang agak lambat menguasainya. "Namun, selalu ada jalan keluar, misalnya
memberi pengajaran remedial atau pengayaan," tutur Masduki yang, sama seperti
guru dan orang tua mana pun, bertekad memberikan bekal terbaik untuk generasi
penerusnya.